Arsip Tag: kejang

Hati-hati terhadap benturan kecil di kepala pada orang lanjut usia dan bayi….

Saya ingin menyampaikan suatu keadaan dan fakta yang banyak saya terima pada pasien-pasien saya khususnya pasien-pasien usia lanjut dan bayi. Sering sekali saya mendapatkan pasien-pasien usia lanjut atau bayi yang mengalami perdarahan di dalam kepala (perdarahan subdural) dengan kondisi biasanya lemas, penurunan kesadaran atau adanya kelumpuhan sesisi tubuh. Bahkan beberapa pasien tiba-tiba kehilangan kemampuan berbicara atau mengalami kejang. Bila saya tanyakan kepada pasien atau keluarga, apakah pasien sebelumnya pernah mengalami kecelakaan atau benturan pada kepala, biasanya dijawab tidak tahu atau tidak pernah. Namun saat saya lebih dalam bertanya dan mencoba mengajak keluarga untuk mengingat lebih baik maka baru diketahui cerita sebenarnya tentang adanya trauma kepala sebelumnya. Alasan yang menyebabkan keluarga atau pasien sendiri tidak ingat adanya riwayat benturan pada kepala adalah karena umumnya benturan tersebut sangat ringan dan bahkan tidak dianggap oleh pasien atau keluarga. Trauma kepala ringan seperti kepala terbentur meja atau kursi, kepala terbentur atap mobil sering sekali tidak diingat oleh setiap orang karena bersifat ringan, gejala hanya nyeri sebentar dan kemudian hilang dengan sendirinya. Namun setelah beberapa minggu atau beberapa bulan bahkan, baru pasien merasakan ada gejala yang timbul secara progresif. RIngannya trauma kepala dan jarak yang cukup lama antara kejadian trauma kepala dengan gejala yang pertama kali muncul mengakibatkan setiap orang bahkan mungkin dokter tidak memikirkan hubungan kedua kejadian ini. Padahal truma kepala ringan itulah awal dan penyebab kejadian perdarahan di kepala yang dapat berakibat fatal tersebut.

Perdarahan subdural (subdural hematom; SDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara otak dengan lapisan pembungkus otak (duramater). Perdarahan ini disebabkan robeknya pembuluh darah balik (vena) yang terletak di antara otak dan lapisan pembungkus otak atau robeknya pembuluh darah nadi (arteri) yang terletak di permukaan otak. Perdarahan biasanya bertambah sedikit demi sedikit sehingga gejala yang timbul pertama kali setelah beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan pasca trauma kepala. Gejala yang tersering berupa sakit kepala, kejang, kelemahan anggota gerak dan kesulitan berbicara.

Secara rutin saya selalu mendapatkan dan melakukan tindakan operasi pada pasien-pasien usia lanjut dan bayi tersebut setiap bulannya. Jumlahnya juga tidak sedikit yaitu sekitar 2 sampai 3 setiap bulan. Tindakan operatifnya juga tidak terlampau sulit dan tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama. Tindakan yang kita lakukan berupa membuat satu atau dua buah lubang untuk kemudian mengalirkan darah tersebut keluar sekaligus membilas dengan menggunakan cairan fisiologis yang steril. Selanjutnya saya cenderung meninggalkan sebuah selang “drain” untuk mengeluarkan sisa-sisa darah selama perawatan di rumah sakit. Hasil dari operasi juga sangat memuaskan, Umumnya keluhan yang dirasakan sebelum operasi akan segera atau berangsur-angsur berkurang. Sakit kepala akan menghilang dan kelemahan anggota gerak serta gangguan bicara akan membaik. Gejala kejang masih mungkin terjadi namun hal ini harus diterapi juga dengan obat-obatan. Pasien biasanya akan pulang ke rumah pada hari ke 5 pasca operasi dengan keadaan yang sangat baik. Temuan saya pada saat pasien-pasien tersebut kontrol setelah pulang adalah seluruh gejala sebelumnya yang dirasakan berkurang bahkan menghilang.

Yang saya sampaikan di atas adalah cerita baik dari suatu kejadian perdarahan subdural. Ada juga beberapa kasus yang menolak tindakan operasi karena merasa gejala tidak terlalu serius. Namun setelah beberapa waktu tiba-tiba kondisi pasien sangat menurun dan jatuh dalam keadaan yang bergantung pada alat bantu nafas serta kesadaran yang sangat jelek. Hal ini akan semakin sulit ditolong walau dengan tindakan operasi sekalipun. Ada juga pasien-pasien yang menolak tindakan operasi dan kemudian mengalami perburukan keluhan kejang sehingga sulit untuk dikontrol. Semua ini terjadi karena penundaan tindakan operasi pada perdarahan subdural tersebut. Gejaa defisit neurologis dapat menjadi permanen.

Sebagai kesimpulan, bila anda mempunyai orangtua atau anak kecil/bayi dengan gejala-gejala seperti diatas dan dengan riwayat trauma yang tidak jelas, segera lakukan pemeriksaan termasuk CT Scan kepala. Segeralah mendapatkan pertolongan medis dari dokter khususnya dokter bedah saraf untuk membuang darah yang ada. Tindakan yang diberikan dengan cepat akan membuahkan hasil yang sangat baik tanpa ada kecacatan lebih lanjut.

Kejang berulang dimulai pada usia remaja….belum tentu “penyakit ayan” (epilepsi)

Pada hari ini saya melakukan tindakan operasi otak pada seorang remaja laki-laki berusia sekitar 25 tahun di sebuah rumah sakit di Jakarta. Tindakan operasi cukup besar dan saya membutuhkan sekitar 6 jam untuk menyelesaikannya. Alhamdulillah, operasi tersebut berjalan lancar dan tidak memberikan resiko berat kepada remaja tersebut.

Namun pada cerita kali ini, bukan operasinya yang ingin saya tekankan, tetapi penyakit dan riwayat perjalanan penyakit remaja ini. Remaja berusia sekitar 25 tahunan ini pertama kali datang ke rumah sakit sekitar 2 minggu yang lalu dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan kejang-kejang berulang sejak 2 tahun sebelumnya. Kejang-kejang tersebut semakin lama semakin sering dan semakin lama durasi serangannya. Remaja ini kemudian berobat ke beberapa dokter dan dikatakan menderita epilepsi. Dia diberikan beberapa obat anti kejang, namun walau diminum secara teratur, perbaikan terhadap kejang tidak kunjung datang. Serangan kejang berulang terus ada dan sangat mengganggu aktifitas hariannya. Selama 2 tahun, berbagai obat anti epilepsi diberikan dan dicoba dikombinasikan dengan hasil yang jauh dari memuaskan. Karena rasa tidak puas, kemudian kita lakukan pemeriksaan MRI kepala/otak. Hasilnya kita temukan suatu kelainan yang kita duga sebagai suatu tumor di dalam otak.

Epilepsy

 

Remaja tersebut kemudian kita lakukan operasi pengangkatan masa tumor otak. Ternyata saat operasi, kita menemukan suatu massa berupa pembuluh-pembuluh darah dengan bentuk aneh dan abnormal. Kita kemudian menyimpulkannya sebagai suatu “malformasi vaskuler”. Operasi berjalan dengan lancar dan massa tersebut dapat kita angkat secara total.

Maksud dari cerita saya ini adalah bahwa kejang berulang yang baru muncul pertama kali saat usia remaja/muda, maka jangan terburu-buru didiagnosis sebagai suatu epilepsi. Epilepsi primer atau yang biasa dikenal sebagai penyakit “ayan” di masyarakat awam umumnya ditandai dengan kejang berulang yang terjadi sejak usia kanak-kanak atau lebih muda lagi.  Selain itu, kejang merupakan petanda yang diberikan otak/tubuh bahwa ada suatu lesi/kelainan di dalam sistem saraf pusat/otak kita. Pemberian obat anti epilepsi tidak akan memberikan manfaat signifikan pada kejang berulang yang disebabkan oleh suatu massa di dalam ota. Tindakan operatif kadang sangat diperlukan.

Malformasi Vaskuler

Variasi kejang….suatu kegawat-daruratan yang penting untuk dikenali…

Menurut anda, kira-kira apa yang akan anda lakukan bila melihat salah seorang keluarga anda atau teman anda tiba-tiba jatuh dan bergerak tidak terkendali atau yang biasanya disebut dengan “kelojotan”? Mungkin hingga detik ke 5 atau ke 10 kejadian, anda akan hanya diam terpaku, bingung, takut atau mungkin berteriak minta pertolongan. Mungkin juga anda akan bereaksi cepat dengan memegang tangan atau badannya dengan harapan agar kelojotannya akan berhenti. Tapi apakah ini merupakan langkah yang benar? Apakah ini yang disebut kejang? Apakah hal ini merupakan suatu penanda kegawatan…?

Kejang merupakan suatu keluhan atau gejala yang biasanya akan membawa seseorang atau keluarganya untuk segera mencari pertolongan medis ke rumah sakit. Kejadian dimana tiba-tiba seorang bergerak-gerak ritmis tidak terkontrol dan sekaligus tidak sadar merupakan suatu kejadian yang bisa kita bilang mencengangkan dan menakutkan. Apalagi setelah “kelojotannya” berhenti, si penderita biasanya masih tidak bereaksi bila dipanggil atau bahkan lupa sendiri dengan apa yang dialamainya barusan.

Kejang disebabkan oleh adanya lompatan listrik atau ketidakseimbangan atau kacaunya aliran listrik di otak, khususnya daerah otak yang mengatur gerak tubuh. Otak kita yang begitu menakjubkan itu, ternyata inti-inti utama yang mengatur fungsi-fungsi tingkat tinggi tubuh kita seperti kemampuan bergerak, merasa dan berbicara terletak pada permukaannya, dan bukan di dalamnya. Penyebab gangguan aliran listrik ini bisa dikarenakan adanya kerusakan sel-sel otak akibat gangguan metabolisme/kimiawi, seperti akibat kurangnya asupan gula dan oksigen ke otak, atau bisa juga karena kerusakan mekanik, seperti permukaan otak robek atau bengkak pasca trauma kepala hebat. Aliran listrik yang akan melewati sel-sel otak yang rusak kemudian akan terganggu atau melompat sehingga mengakibatkan seseorang kejang.

Mungkin jenis penyakit kejang yang paling dikenal masyarakat adalah “epilepsi”. Tetapi kenyataannya walau angka kejadian epilepsi cukup banyak, masih lebih banyak lagi jenis-jenis kejang lainnya. Yang tidak diketahui oleh masyarakat adalah ternyata bentuk kejang itu memiliki tingkatan dari yang teringan hingga terberat. Salah satu kejang yang terberat adalah yang disebut dengan “status epileptikus” dalam dunia medis, dimana pasien kejang terus menerus dan tidak sadar dalam 30 menit, ataupun kejang dengan adanya interval berhenti dalam waktu 30 menit secara terus menerus tanpa ada periode sadar.

Namun tahukah anda bentuk kejang yang teringan….??

Bentuk kejang yang teringan adalah yang disebut dalam dunia medis sebagai “suatu bentuk sakit kepala yang berserangan”. Maksudnya berserangan disini adalah sakit kepala yang menyerang secara hilang timbul. Jadi gangguan lompatan listrik pada otak juga dapat bermanifestasi menjadi sakit kepala. Namun belum tentu juga setiap sakit kepala merupakan kejang. Sedikit lebih berat dari ini adalah bentuk kejang yang disebut dengan kejang “absans”, dimana penderitanya tiba-tiba diam untuk sesaat dan kemudian setelah beberapa waktu akan tersadar kembali namun tidak mengingat sama sekali fase diamnya tadi. Penderita benar-benar lupa kalau dia sempat “terdiam” dan tidak ingat apapun.

Nah selanjutnya, apa yang terjadi pada otak kita saat serangan kejang…?

Pada saat kejang, lompatan listrik menjadi tidak teratur dan kacau. Selain itu pada saat kejang, aliran darah ke otak akan terganggu atau berhenti sesaat selama periode kejang berlangsung. Disinilah kegawat-daruratannya dimana otak sangat membutuhkan oksigen dan asupan kalori yang dibawa oleh aliran darah ke otak. Bila dalam interval waktu tertentu yang relatif singkat, otak tidak mendapatkan oksigen atau energi maka sel-sel otak akan mati. Parahnya lagi, sel-sel otak yang rusak akan menularkan kerusakannya ke sel-sel tetangganya selama asupan oksigen dan energi dicukupkan.

Bila seorang pasien mengalami kejang di rumah sakit atau sarana medis lainnya maka yang harus segera dilakukan adalah memastikan asupan oksigen cukup masuk ke dalam tubuh / otak. Pasien akan segera diberikan oksigen oleh tenaga medis. Kemudian pasien juga akan diberikan obat anti kejang yang bekerja cepat untuk menghentikan kejangnya. Karena selama pasien masih kejang, maka kerusakan otak akan bertambah terus.

Namun bagaimana bila kejadian kejang berangsung di rumah atau dimanapun yang jauh dari sarana medis? Maka yang dapat kita lakukan adalah juga memastikan bahwa penderita mendapatkan asupan oksigen yang cukup. Pasien kejang jangan dikerumuni karena kerumunan orang ramai akan mengurangi oksigen di sekitar pasien. Kemudian pastikan lidah penderita tidak jatuh menutup kerongkongan/tenggorokan atau tergigit, karena dapat menutup saluran pintu masuk oksigen ke dalam tubuh. Selanjutnya segera bawa penderita ke rumah sakit.

Untuk terapi kejang, sudah banyak terdapat obat anti kejang yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Kadang dibutuhkan obat lebih dari satu dan dikombinasikan untuk mengobatinya dan kadang butuh waktu untuk mendapatkan kombinasi obat yang paling tepat dan cocok untuk pasien. Bila terapi dengan obat-obatan gagal, maka masih ada terapi operasi untuk mengatasi atau mengurangi kejang. Keilmuan bedah saraf sudah begitu majunya saat ini sehingga tindakan operasi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi kejang.

Pada akhirnya saya ingin menyampaikan sebuah cerita tentang pengalaman saya dengan seorang pasien. Pasiennya adalah seorang anak usia 3 tahun yang dibawa orangtuanya berobat ke saya untuk masalah kejang. Sayangnya kejang sudah berlangsung selama 2 tahun terakhir dengan frekuensi kejang sekitar 2-3 kali seminggu. Selama 2 tahun, anak tidak dibawa orangtuanya ke rumah sakit karena dianggap kejang akan berhenti sendiri akhirnya walau sering muncul, selain masalah biaya tentunya. Tapi…inilah hasilnya….di depan saya terbaring anak dengan tatapan kosong, tidak aktif, tidak bereaksi bila dipanggil dengan otot-otot badan sudah lemah. Anak ini sudah menjadi manusia yang walau bernyawa tapi tidak memiliki fungsi apapun lagi di tubuhnya. Kerusakan otaknya sudah begitu berat sehingga sel-sel otaknya sebagian besar sudah mati. Anak ini selanjutnya mungkin akan tetap hidup namun tidak bisa berfungsi seperti manusia biasanya, dan tindakan medis apapun akan sulit menolongnya lagi.

Ayo, selamatkan generasi muda dan sumber daya manusia Indonesia dari bahaya kejang sehingga tetap menjadi manusia yang produktif dan berguna untuk keluarga, nusa dan bangsa.